|
Delegasi Pemuda Mendunia Batch II Chapter Singapore pasca Festival Indonesia
19 Agustus 2017, di Agrobazaar, Sultan Gate, Singapura
Organized by: Studec International |
Oleh : Farhan Abdillah Dalimunthe
Gresik, 30 April 2017
Pada era sekarang ini para generasi muda bangsa banyak sekali mendapat julukan baru. Ada yang mengatakan 'Generasi Z', 'Generasi cadas, lugas, dan pedas', 'Generasi instan', Generasi gadget', 'Generasi digital'. Hal ini tidak terlepas akibat terpengaruhnya manusia khususnya generasi muda terhadap cengkraman teknologi. Masyarakat Indonesia tidak lagi dijajah oleh senjata api tapi dijajah dengan teknologi yang bernama Gadget. Bayangkan saja, berdasarkan data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebagian besar responden mengaku mengakses internet lebih dari enam jam setiap hari.
Teknologi secara umum diasosiasikan dengan kepentingan modernitas, artinya penggunaan teknologi sebagai sarana mencapai "kemajuan" (progress). Salah satu ciri khas yang tampak adalah inovasi teknologi yang telah menstimulasi kemajuan sosial dan melampaui kesejahteraan individual. Teknologi hadir sebagai simbol dari masyarakat modern. (Soedjatmiko, 2008, hlm.60). Winner, menyebutkan tiga paradoks dalam teknologi, yakni (Soedjatmiko, 2008, hlm.61): Pertama, paradox of intelligence ialah teknologi tidak mengembangkan kemampuan manusia, tetapi hanya mengandalkan konsumen yang kurang kompeten.
Kedua, Paradox of Lifespace (paradoks suasana hidup) ialah hadirnya teknologi di masa lampau ditujukan untuk menciptakan waktu senggang (jeisure time), yakni kebebasan dan ekspresi kreativitas pribadi. Namun pada masa sekarang teknologi hanya membanjiri kehidupan sosial dengan sistem komunikasi media.
Ketiga, Paradoks demokrasi elektronik ialah teknologi dan demokrasi, yakni di satu sisi teknologi dianggap sebagai sebuah pemaknaan demokrasi, misalnya dalam media televisi menampilkan banyak kehidupan manusia, misal kebijakan politik-amerika yang tampak ialah imaji politik video. Teknologi tidaklah demokratis, terlebih para konsumen menjadi terpisah dengan praktik real demokrasi itu sendiri.
Ameliora, dkk menyatakan bahwa, perkembangan teknologi dan informasi mengalami kemajuan yang sangat pesat, bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang ikut terlibat dalam kemajuan media informasi dan teknologi (Manumpil, 2015). Salah satu produk dari inovasi kecanggihan teknologi adalah gadget. Gadget merupakan barang canggih yang dapat menyajikan berbagai media berita, jejaring sosial, hobi, bahkan hiburan.
Fungsi gadget kini adalah untuk mengubah sesuatu menjadi hal yang dibutuhkan manusia. Kalau di zaman dahulu para pelajar merasa gelisah hati karena ketinggalan buku atau alat tulis, kini para pelajar khususnya mahasiswa merasa gelisah hati karena ketinggalan handphone atau bahkan sekedar powerbank. Gadget kini telah menjadi hal yang sangat dibutuhkan manusia khususnya Indonesia. Tanpa gadget hidup terasa hampa.
Belakangan ini teknologi digital seperti gadget sangat berpengaruh dalam pembentukan budaya dan moral anak bangsa. Pemuda pada era sekarang terlihat mengalami penurunan dalam berbagai hal. Sekarang ini pemuda disebut-sebut telah mengalami krisis moral. Mereka mulai meninggalkan budaya mereka dan menggantikannya dengan budaya yang berbeda nilai budayanya dengan budaya bangsa Indonesia. Bahkan tidak jarang mereka mengagung-agungkan budaya asing dan tanpa rasa bersalah menjelek-jelekkan kebudayaan bangsa sendiri. Seakan-akan mereka tidak sadar bahwa mereka hidup di negara Indonesia. Pertanyaan yang sering timbul adalah dimana rasa nasionalisme mereka? Era globalisasi memberikan efek yang besar pada perkembangan pemuda Indonesia. Bagaimana mereka bisa memajukan bangsa kalau pada bangsa sendiri pun mereka kehilangan rasa cinta tanah airnya.
Berkembangnya teknologi juga membimbing para pemuda bangsa memiliki pola pikir pragmatis. Mereka kemudian menjadi generasi instan, menginginkan kesenangan dengan waktu yang singkat. Padahal sesuatu yang instan itu tidak baik, contohnya mi instan. Jika terlalu banyak mengonsumsi mi instan maka kesehatan kita bisa terganggu. Seperti halnya manusia, jika kita selalu mengandalkan cara instan untuk mendapatkan keinginan kita pasti akan berakhir buruk bagi kita sendiri.
Kendalikan atau Tenggelam
Layaknya peselancar, kita harus bisa memilih, apakah mengendalikan ombak atau tenggelam di gulung ombak? Hadirnya teknologi sudah tidak dapat dibendung lagi. Pilihannya sekarang adalah mengendalikan atau tenggelam? Berselancar dengan baik atau tenggelam terbawa arus? Sebagai generasi yang cerdas seharusnya kita bisa memilih dengan baik. Para generasi muda harus mulai sadar dan bangkit dari keterpurukan selama ini.
Internet dan gadget memberikan banyak sekali akses dan kemudahan untuk berkomunikasi atau bertukar informasi dengan menembuh ruang dan waktu. Potensi ini harus secepatnya disadari oleh para generasi muda. Kalau di zaman pra-kemerdekaan hingga era reformasi para pemuda memberikan pengaruh melalui pergerakan, maka hari ini kita bisa memberikan pengaruh melalui teknologi informasi. Para generasi muda harus mampu mengendalikan hadirnya kecanggihan teknologi bukan malah tenggelam didalamnya.
Banyak sekali polemik yang terjadi di sekitar kita, namun yang paling harus kita soroti adalah polemik terhadap kurangnya kepedulian masyarakat khususnya generasi muda terhadap kebudayaan di daerah masing-masing. Contohnya di Kabupaten Gresik sendiri para pemudanya sudah banyak yang tidak melestarikan kebudayaan daerahnya. Banyak sekali para pemuda Gresik yang kini telah menurun kepeduliannya terhadap budaya damar kurung. Kalau hal ini dibiarkan terus hingga berlarut-larut bisa jadi kebudayaan daerah ini akan hilang termakan pengaruh globalisasi.
Menurut saya disini peran gadget harus dijadikan senjata untuk mengembalikan kepedulian (awareness) para generasi muda terhadap kebudayaan di daerahnya. Para pemuda harus bisa menyelesaikan polemik ini. Kita bisa membuat kampanye-kampanye positif yang dapat mengembalikan citra budaya daerah ke ranah publik, sehingga dapat memunculkan kebanggaan di hati para pemuda di daerahnya masing-masing. Apalagi kalau budaya daerah bisa diangkat dan diperkenalkan ke mancanegara, maka budaya daerah bisa menjadi daya tarik pariwisata internasional, dan lagi-lagi ini akan memunculkan kembali kepedulian para generasi muda kepada budaya daerah tersebut.
Upaya yang sederhana ini saya rasa bisa dijadikan alat untuk membangkitkan budaya daerah. Upaya ini dapat dijadikan wujud nyata untuk mengembalikan kepedulian generasi muda terhadap polemik budaya sekitar. Para generasi muda tidak boleh terus-terusan larut dalam pembodohan dan harus bangkit mengendalikan. Julukan 'Generasi Digital' harus bisa menjadi jawaban untuk membangkitkan budaya daerah.