Kutipan Buku #2 : Mitos Aktivis Mapan
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar." (Allah SWT, Q.S. Al-Baqarah [2]: 155)
Tulisan kali ini merupakan salah satu program kami dari Gerakan Indonesian Moslem Literacy Action (IMLA) untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan insipirasional dari buku-buku yang ada. Semoga melalui ini kawan-kawan juga tertarik untuk baca buku yang lagi kami baca.
Jadi, judul Mitos Aktivis Mapan aku ambil dari salah satu bab di buku karya Gandring A.S. yang diterbitkan oleh Penerbit SAGA dengan judul "Mengapa Aktivis Menghilang Setelah Menikah?". Dari judulnya aja udah greget banget kan ya? Recommended banget sih untuk dibaca anak muda. Membahas tentang kehidupan nyata seorang aktivis pergerakan, menjadi mapan apakah mitos atau sebuah peluang? Aku tertarik sama sosok Haji Agus Salim yang diceritakan dalam bab ini.
Mas Gandring bilang, Jikalau kita memberikan pertanyaan secara random kepada kawan-kawan aktivis, faktor apa yang kemungkinan besar membuat mereka menghilang dari gelanggang perjuangan? Faktor ekonomilah yang akan sering muncul sebagai jawaban.
Kemudian mas Gandring memberikan antitesa tu kayak gini, Tapi apakah benar perjuangan harus selalu dimulai dengan kondisi mapan? Mari menarik pelajaran ke zaman perjuangan kemerdekaan, ada tokoh bernama Haji Agus Salim. Seorang bapak bangsa yang berjuang sejak Sarekat Islam berdiri, bersama H.O.S Tjokroaminoto, membersamai anak-anak muda di jaman revolusi kemerdekaan bersama Soekarno-Hatta dkk, sampai menjadi menteri ketika Indonesia sudah merdeka.
Haji Agus Salim ini, kalau dalam buku Salimisten: Pemikiran Politik Luar Negeri H. Agus Salim karya Gurunda Bustomi Menggugat, dikisahkan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan banyak bahasa. Beliau seorang poliglot, bahkan kemampuan berbahasa asing Haji Agus Salim seringkali lebih fasih dari para diplomat dari negara asal bahasa tersebut. Bicara tentang kapasitas sebagai seorang diplomat, Gurunda Bustomi Menggugat mengomentari Haji Agus Salim sebagai seorang pemikir dan diplomat yang genial. Pikiran serta ide-idenya sangat orisinil.
Kualitas seorang Haji Agus Salim tersebut ternyata sangat kontras dengan kondisi ekonomi beliau. Meskipun seorang tokoh besar, rupanya beliau tinggal berpindah-pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan yang lain. Dari beliau kita dapat belajar bahwa tinggal di rumah kontrakan tidak menghalangi beliau untuk memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Bahkan, tempat tinggal beliau yang statusnya ngontrak itu justru sering didatangi para pemuda untuk sharing dan belajar tentang gerakan. Apakah kita bisa menjamin rumah yang kita beli dengan kredit itu bisa menjadi rumah yang produktif? Menjadi markas gerakan? Menjadi pusat majelis ilmu? Bersyukur saat itu kita punya bapak bangsa bernama Haji Agus Salim, yang lebih sibuk menghidupkan rumah kontrakannya dengan kerja-kerja peradaban, dari pada sibuk mengumpulkan uang untuk membayar cicilan kredit rumah.
Sebenarnya masih ada kisah Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Tsa'labah Sahabat Rasulullah yang menjadi tokoh inspirasi di dalam bab ini, tapi aku rasa kisah Haji Agus Salim ini gak se-mahsyur kisah tiga tokoh lainnya sehingga perlu untuk aku sebarluaskan ke kalian semua melalui tulisan ini.
Pada intinya menurutku tu gini, kisah Haji Agus Salim ini mengajarkan kita bahwa jalan hidup seorang aktivis bukan bicara sekedar seberapa banyak harta yang dimiliki, melainkan seberapa banyak harta yang sudah di infakkan di jalan perjuangan. Seorang aktivis pergerakan udah dibekali pemahaman bahwa perut yang kenyang, kasur yang empuk, dan kamar yang dingin akan membuatnya lupa akan medan perjuangan. Kemapanan yang datang tanpa di dahului perjuangan akan membuatnya lupa untuk menebar kebermanfaatan. Bukankah kita akan mengerti nikmatnya sehat ketika kita tau rasanya sakit? Pastinya kita juga akan merasakan esensi kecukupan ketika kita pernah merasakan serba kekurangan. Rasa syukur yang tumbuh akan berbeda nilainya.
Apakah menjadi aktivis berarti merencanakan hidup susah dan serba kekurangan? Enggak.
Menjadi aktivis akan membentuk jiwa kita untuk memiliki daya tahan yang kuat, memiliki resistensi terhadap kegagalan. Menjadi aktivis juga akan membentuk seseorang menjadi bijaksana. Aku jadi teringat ni sama kata-katanya Cak Lontong tentang perbedaan miskin dan sederhana yang diviralkan oleh akun Instagram @rumahgagasan.
Farhan Dalimunthe undur diri,
Panjang Umur Perjuangan!
MISKIN & SEDERHANA. Apakah sama? BEDA! Miskin itu kondisi hidup, sederhana adalah cara hidup. Saya sering makan di warung, ada yang tanya, "Cak Lontong kok nggak makan di restoran miskin ya? SAYA SEDERHANA. Saya sering kemana-mana naik angkutan umum,"kok nggak bawa mobil sendiri, Cak Lontong miskin ya? SAYA SEDERHANA. Apakah miskin bisa diubah? BISA! Miskin kondisi hidup, bisa diubah. Teman saya, jadi stand up comedy an karena pengen sukses pengen terkenal. Tapi yang lebih penting adalah kesiapan anda ketika anda sudah menjadi terkenal dan sukses. Sederhana itu tidak berjalan sejajar dengan orang miskin, belum tentu. Sederhana belum tentu berjalan sejajar dengan orang kaya, belum tentu berjalan sesjajar denan orang sukses. TAPI, SEDERHANA BERJALAN SEJAJAR DENGAN ORANG YANG BIJAKSANA. MAKANYA JADILAH ORANG YANG SEDERHANA SUPAYA BIJAKSANA.
Jadilah bijaksana, jadilah qana'ah, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Allah tidak membebani seseorang kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Bagi orang yang bertaqwa Allah akan berikan padanya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Sebagai penutup, "Jangan pernah menghina lelaki yang belum mapan, jangan sampai nanti ketika dia sudah mapan seleranya itu bukan kamu lagi tapi lebih dari kamu." hahahaha
Farhan Dalimunthe undur diri,
Panjang Umur Perjuangan!
-----------------------------------------------------------
Gresik, 19 Oktober 2018
Terbaik bang ��
BalasHapus